Sabtu, 27 Desember 2008

Ditipu Empirisme Semu

Empirisme adalah faham yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan muncul dari pengalaman (indrawi) manusia. Empirisme dipelopori oleh David Hume, George Berkeley, dan John Locke. Entahlah,.. menurut saya faham yang satu ini terlalu menitik beratkan pada panca-indera manusia sebagai penangkap informasi dan sumber pencari kebenaran.

Saya tidak bermaksud menafikkan fungsi panca-indera manusia buatan Allah yang mengagumkan. Saya hanya ingin berpendapat bahwa terkadang kita tertipu dan mengambil asumsi yang keliru saat terlalu yakin pada apa tertangkap oleh panca-indera. kita ditipu oleh panca-indera kita!

Makanya (terkadang) saya cenderung lebih percaya pada rasionalitas. Sekalipun begitu, rasionalitas tetap membutuhkan panca-indera.

Untuk membuktikan bahwa faham empirisme ini lemah, saya akan mendemonstrasikan kelemahan empirisme lewat satu kasus.

contoh kasus : belalang yang tuli.
kisah ini bukan buatan saya, saya cuma mengaitkannya dengan tema yang sedang saya bahas sekarang.
Suatu hari, seorang peneliti meneliti seekor belalang. maka dimulailah penelitiannya itu. ia kemudian meneriakkan "lompat!" kepada seekor belalang. Belalang kemudian melompat jauh. Untuk melanjutkan penelitian ke langkah berikut, peneliti lalu memutuskan salah satu kaki belakang belalang (belalang yang malang..). kemudian si peneliti lagi-lagi memerintahkan belalang untuk melompat dengan teriakan. "lompat!!" teriak peneliti itu. belalang melompat, tapi butuh waktu agak lama, lompatannya pun tidak sejauh lompatan pertama. peneliti mengerutkan dahi, ia mulai menemukan satu pola! Untuk membuktikan hipotesanya, ia kemudian memutuskan kaki belakang belalang yang terakhir (cukup sudah! laporkan si brengsek ini ke WWF!). Ditaruhlah si belalang yang malang itu ke tanah. "Lompat!!" teriak si peneliti pada belalang. eh,.. belalang tidak bergerak sama sekali. "Lompat!!!!!" teriak peneliti lebih keras lagi. Belalang tidak bergeming. Peneliti tersenyum.. Hipotesanya terbukti sudah..

"Ternyata, kalau kedua kakinya diputuskan, belalang menjadi TULI sehingga tidak bisa merespons perintah saya!" begitulah hipotesa si peneliti..

anda tidak perlu secerdas Einstein atau lulus dari Harvard untuk tahu bahwa peneliti ini menghasilkan hipotesa ngawur..

hipotesa peneliti menjadi sedemikian ngawur karena peneliti hanya mengandalkan pengalaman indrawinya. Jika si peneliti berpikir dengan akalnya dan mencoba mengaitkan hubungan sebab-akibat buntungnya belalang dan respons belalang yang menjadi lamban atau bahkan tidak lagi merespons, maka akan ditemukan jawaban yang lebih baik.

Jadi, panca-indera saja tidak cukup. manusia juga harus menggunakan akal pikirannya dalam berdialektika. Lagipula, faham empirisme juga keliru ketika menyatakan bahwa manusia secara fitrah tidak memilki bekal pengetahuan. hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan dimuat di proceeding of the nation of the national academy of sciences membuktikan bahwa manusia sudah bisa berhitung sejak bayi. Ya,.. saya tidak salah tulis.. SE-JAK BA-YI! Bayi yang diuji kemampuan matematikanya baru berumur tujuh bulan. Itu membuktikan bahwa ilmu sudah menjadi fitrah manusia, berlawanan dengan pendapat empirisme.

Jadi, marilah kita melihat, mendengar, mengendus, meraba, mengecap.. LALU BERPIKIR!

Azhar Irfansyah, Jogja menjelang 2009

Rabu, 24 Desember 2008

Untuk Intan Hidayatin

maaf terlambat,..

tapi, tidak ada yang terlalu terlambat untuk menyatakan rasa terimakasih dan cinta yang paling tulus.

mama.. diatas pangkumu aku meringkuk, dalam rengkuhmu aku nyaman, dari setiap tuturmu aku belajar..

waktu itu aku masih duduk di sekolah dasar.. pulang sekolah berurai air mata. dijahili teman-teman! jawabku saat mama tanya kenapa aku menangis. satu jemputan menjahili dan mengejekku karena aku memakai tas bergambar Donal Bebek. "haha.. Donal Bebek itu kan tidak pakai celana!!" ujar seorang teman dalam mobil jemputan memulai. dasar para bocah, mulailah mereka mencoba menaggalkan celanaku.
saat dengar ceritaku, mama kemudian mengambil spidol marker hitam. "sini tasnya.. biar ga diledek teman-teman lagi, biar mama gambarin celana untuk Donal Bebeknya" ujar mama lembut. digambarlah celana untuk si Donal Bebek.
memang gambar celana itu bukan buatan Picasso, Da Vinci, atau pelukis kenamaan lainnya. tapi menurutku, gambar celana itulah gambar yang paling indah. setiap guratan-guratannya adalah kasih sayang dari mama!

aku tidak akan melupakannya seumur hidup..

waktu itu aku baru saja lulus SD, tinggal beberapa hari lagi menuju pesantren. aku sadar betul beberapa hari lagi aku akan jauh dari mama. sementara mama di jakarta , aku di bogor pedalaman. sementara mama memasak di rumah, saya mengaji di pesantren.. bagaimana dengan pelukannya ma..? bagaimana dengan canda tawanya..? kalau boleh, aku selalu ingin didekat mama..
makanya, beberapa hari sebelum berangkat ke pesantren, aku selalu menangis di dalam tolilet. aku tidak ingin mama tau kalau aku menangis, aku tidak mau mama jadi sedih. makanya saat ditanya kenapa aku terus-menerus bolak-balik ke toilet, aku bilang kalau aku sedang diare.

aku ingin selalu di dekat mama..

waktu itu pihak pesantren mengeluarkan aku dari institusinya. alasannya aku tidak disiplin, dan aku juga telah menghasut anak-anak lain untuk keluar dari pesantren.. itu semua tidak benar! aku dikeluarkan karena salah satu ustadz sudah gerah dengan kekritisanku.
teman-temanku di pesantren menangis ketika tau bahwa aku dan tiga temanku yang lain telah dikeluarkan. aku dan teman-teman yang lain (yang juga dikeluarkan) pun diantar ke rumah masing-masing. semuanya khawatir dan gelisah. takut kalau-kalau sesampainya dirumah, mereka akan di marahi orang tuanya masing-masing. semuanya khawatir kecuali aku!
saat ditanya, aku bilang bahwa aku yakin kalau mama akan percaya padaku ketimbang fitnah dari beberapa orang pesantren. benar saja! mama percaya aku..

setiap kepercayaan mama adalah bekal paling berarti bagiku untuk melangkah..

ma.. lautan kata-kata pun tidak akan cukup untuk menggambarkan bahwa rasa terimakasihku begitu besar atas cinta mama yang dengan cuma-cuma mama berikan. aku cuma berharap agar dapat dipeluk oleh cinta mama di sisa hidupku. saat semuanya serba bersyarat, mama mencintaiku dengan begitu tulus..
aku juga bukan cuma berterimakasih, tapi juga berniat untuk membalas cinta mama yang begitu besar ma.. sekalipun rasanya tidak mungkin, tapi aku akan tetap berusaha membalas cinta mama.

selamat hari mama..
dari anakmu..

Azhar Irfansyah, Jogja penghujung 2008

Selasa, 23 Desember 2008

Kaffe, Koffie, dan Wanita-Wanita

antara sebentar terdengar riuh obrolan diselingi gelak tawa.. lalu bau rokok, lalu bau kopi, lalu kelebat barista melangkah cepat.. mengantarkan kopi yang dipesan pembeli.

saya duduk di bagian tengah Kaffe. malam itu cukup ramai. saya sebenarnya tidak begitu suka duduk di bagian tengah. terlalu terekspos!! bagaimana lagi.. kaffe penuh! cuma meja tengah yang kosong.

segelas kopi didepan sudah hampir tumpas. hanya butuh waktu kurang-lebih lima belas menit untuk menandaskan amputjino pesananku sampai hampir ke dasar gelas. saya masih ingin berlama-lama di kaffe.

ah, saya jadi teringat malam dimana saya dikejutkan oleh teman saya yang menurut saya frame berpikirnya agak aneh. terlalu dangkal dan simbolik! suatu hari di sebuah kaffe (yang bukan kaffe yang sedang saya ceritakan sekarang) ia membuat saya terkejut dengan berujar girang (entah darimana ia mendapat perasaan girang..!?) "ha..! ngaku-ngaku sosialis tapi nongkrongnya di kaffe!" ujarnya setengah berteriak. bah! saya tidak menjawab. malas meladeni.

mungkin maksud teman saya yang aneh itu adalah bahwa dengan saya nongkrong di kaffe berarti saya melestarikan penindasan. tentu saja penindasan yang dimaksud adalah penindasan a la kapitalisme dalam perspektif Karl Marx.. tapi, kalau semua hal dikait-kaitkan dengan penindasan, lebih baik tinggal di hutan dan menjadi tarzan saja sana!

bisa jadi itu membuktikan kalau saya bukanlah sosialis yang fanatik.. sekadar mengutip kata-kata Marx sendiri "sejauh yang saya tahu, saya bukanlah seorang Marxis!"

yah,.. saya ke kaffe agar terlihat lebih manusiawi. lagipula saya suka ke kaffe. kaffe bagi saya adalah tempat berkontemplasi yang bagus. perenungan sebelum kata-kata biasanya terjadi saat saya di kaffe atau toilet. saya kan tidak mungkin berlama-lama merenung di toilet. takut kesambet! makanya saya suka ke kaffe.

dan pula saya tergila-gila dengan kopi. sejak SD saya sudah suka kopi!

terlepas dari teman saya yang aneh itu, ternyata ada untungnya juga duduk di bagian tengah kaffe. dari situ saya bisa melihat wanita-wanita yang kebetulan juga sedang nongkrong di kaffe. nah, nah.. yang di pojok itu lumayan juga. kelihatannya sedang sibuk dengan laptopnya. ah! tapi dia merokok.. jangan salah paham, saya bukannya tidak tertarik dengan wanita merokok karena alsan moralitas. saya cuma tidak mau kalau dia nanti menyusui anak saya sambil mengepulkan asap rokok! kan bahaya buat anak saya!

wanita yang lain posisinya langsung diseberang depan meja saya. yang ini lebih manis dari wanita perokok tadi. posisi duduk laki-laki yang satu meja dengannya (saya tidak ingin terburu-buru menyebut laki-laki itu pacarnya) memunggungi saya, jadi saya tidak takut-takut untuk melemparkan satu-dua-tiga layang pandang. eh,.. dasar sial! yang dipandangi sadar ada yang sedari tadi memandangi. jadi mulailah wanita itu menatap saya dengan tatapan tidak suka! saya langsung pura-pura ngetik. my laptop save my life!

amputjino di hadapan kini sudah sepenuhnya tumpas sampai tinggal ampas. tapi saya masih ingin berlama-lama di kaffe. lagipula ketimbang pulang, lebih baik memanfaatkan fasilitas Wi-Fi yang disediakan kaffe dengan cuma-cuma. saat sedang asyik-asyiknya membaca Catatan Pinggirannya Goenawan Muhammad lewat Tempo Interaktif. dari kejauhan seorang wanita melangkah elok. kelihatannya ia bakal ke meja saya! Dag Dig Dug Dag Dig Dug..

wanita nan cantik gemilang tadi semakin dekat. pastilah dia ke meja saya! tinggal beberapa langkah lagi ia sampai di bibir meja. saya perhatikan wajahnya.. siapa? teman kuliah? bukan.. teman organisasi? bukan.. jangan-jangan teman lama? ah,.. apa iya..? tiga langkah lagi.. pastilah ia ke meja saya!

siapa?

sampai di meja saya, dia langsung berujar "gelasnya saya ambil ya!" dengan nada mengusir. bukan main ketusnya..! asem! ternyata dia itu salah satu barista. barangkali orang baru (saya agak sering ke kaffe itu! tapi tidak pernah melihat nona barista yang "mengusir" saya ini). lagipula posisi duduk saya membelakangi meja barista. jadi,.. mungkin saya tidak melihat saat ada ganti shift. barista di kaffe tersebut juga tidak mengenakan seragam khusus.. jadi kadang sulit membedakan. mana barista, mana pelanggan.

jadi, sejurus kemudian, saya melipat laptop saya, membayar (saat membayar pun si nona barista tidak tersenyum! huh,.. barangkali lagi dapet!), lalu segera pulang.. kapan-kapan, saya akan mampir lagi ke kaffe itu. siapa tau si nona barista nan cantik gemilang itu sedang murah senyum!
Azhar Irfansyah, Jogja penghujung tahun 2008

Senin, 22 Desember 2008

Rousseau tentang Perang dan Perdamaian

Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Jean-Jacques Rousseau juga “bermain” di ranah perdamaian. Filsuf Prancis – yang gemar bermain wanita dan mencicipi wine – ini lebih dikenal sebagai pemikir politik dan penyumbang ide-ide modern mengenai demokrasi dan persamaan. Namun ternyata, Rousseau juga berbicara tentang perang dan perdamaian.

Jean-Jacques Rousseau lahir di Jenewa, Swiss pada tahun 1712. Ibunya meninggal tak lama setelah melahirkannya. Rousseau yang sebatang kara – ayahnya meniggalkannya sendirian di Jenewa setelah diusir karena sering terlibat kekerasan – akhirnya meninggalkan Jenewa dan memilih untuk mengembara ke Prancis pada tahun 1728, saat itu ia baru berusia 16 tahun. Rousseau baru menjadi terkenal pada tahun 1750-an. Namanya dilambungkan oleh karya-karyanya yang antara lain Discourse on the Origin Inequality (1755); La Nouvelle Heloise (1761); Emile (1762); Du Contract Social (1762); dan Confessions (1770).

Dalam Magnum Opus-nya yaitu Du Contract Social ia menuliskan dua hal penting mengenai perang dan perdamaian. Bahwa perdamaian bisa jadi merupakan salah satu dari sekian penderitaan yang harus ditanggung oleh sekelompok rakyat. Ia menulis dalam bukunya bahwa perdamaian yang dijamin oleh penguasa tiran bukanlah perdamaian. “kedamaian juga terdapat di penjara bawah tanah, tetapi apakah tempat itu layak untuk dijadikan tempat tinggal?” tulisnya dalam Du Contract Social. Hal yang menarik adalah Rousseau menulis ide-idenya mengenai perang dan perdamaian dalam bab perbudakan. Menurutnya, perang dapat menjadi awal dari perbudakan, sedang perdamaian bisa jadi hanya memperpanjang perbudakan tersebut.

“Para tawanan Yunani dalam gua Cyclops menikmati kedamaian, padahal mereka sedang menunggu waktu untuk dieksekusi.” Begitulah ilustrasi Rousseau untuk menggambarkan bahwa tidak semua perdamaian itu sebaik yang kita kira. Beberapa bentuk perdamaian semu justru akan mengantarkan kita pada kehancuran diri kita sendiri.

Lebih lanjut, Rousseau juga berpendapat bahwa perang adalah bentuk perbudakan yang paling awal. Rousseau menganggap bahwa perang bukanlah relasi antar-individu. Ia lebih melihat bahwa perang adalah relasi antar-negara yang bersangkutan. Jika didalam perang ada individu-individu yang kebetulan bermusuhan, maka mereka akan bermusuhan dalam kapasitas mereka sebagai prajurit. Mereka tidak bermusuhan secara pribadi. Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat mengirimkan prajuritnya ke Iraq untuk menghancurkan Garda Republik yang melindungi Saddam Hossein. Serdadu Amerika Serikat samasekali tidak memiliki masalah pribadi dengan gerilyawan Garda Republik, hanya saja kebijakan perang dari pemerintah Amerika Serikat yang dipimpin G.W. Bush mengharuskan si serdadu untuk menghabisi gerilyawan Garda Republik dengan mempertaruhkan nyawanya. Padahal hak hidup adalah hak yang paling mendasar bagi manusia, namun si serdadu mempertaruhkannya saat perang – tentu saja! karena gerilyawan tersebut pasti balas menembak sekalipun dengan kalasinakhov butut! –
Barangkali begitu juga dengan si gerilyawan.

Contoh yang ditulis di paragraph sebelumnya memperlihatkan betapa si serdadu telah memberikan kebebasannya dan mempertaruhkan nyawanya untuk perang yang – sebenarnya – bukan urusannya melainkan urusan kepala pemerintahannya. Dengan sedikit kibul-kibulan nasionalisme dan kebebasan, si serdadu kemudian masuk ke dalam pola perbudakan yang paling awal. Namun – menurut saya, tidak semua perang merupakan perbudakan yang paling awal jika perang tersebut memang benar-benar menyangkut kepentingan para serdadu atau peserta perang.

Selanjutnya, perang juga menciptakan perbudakan setelah perang. “Hak untuk memperbudak musuh lahir dari hak untuk membunuhnya”. Tulis Rousseau. Hak untuk membunuh bisa jadi lahir lewat hasil perang. Pihak yang kalah dalam perang akan menemukan dirinya serba terpojok oleh keadaan. Hal tersebut mengakibatkan kesepakatan-kesepakatan antara pihak yang kalah dengan pihak yang menang bukanlah kesepakatan yang berimbang. Tentu saja keuntungan maksimal akan didapat oleh pihak yang menang. Sedang pihak yang kalah akan menggadaikan apa saja – jika ia tidak punya semangat kehormatan a la Samurai – agar bisa terus hidup, termasuk kebebasan dirinya sendiri. Terciptalah perbudakan.

Nah, semoga ide-ide Rousseau dapat membuat pembaca menjadi semakin kritis dalam melihat fenomena perang dan perdamaian. Perdamaian bukanlah sesuatu yang akan jatuh begitu saja dari langit. Perdamaian yang hakiki akan tercipta lewat perjuangan manusia itu sendiri. Seperti kata John Lennon, “War is over! If you want..”

Azhar Irfansyah, Jogja 2008 almost 2009.

Selasa, 16 Desember 2008

Ilusi Fundamentalisme

pertama, saya ingin anda membaca tulisan saya dengan teliti. saya tidak ingin -- bukan karena takut -- ada kesalahpahaman yang membuat anda gagal menangkap esensi dari apa yang saya tuliskan.

dan, rasanya ada satu hal yang perlu saya umumkan. mengingat banyak sekali orang yang mengira dirinya lebih saleh dari yang lain, yang dengan kasar menyiram air dingin penilaian kepada yang lain. semoga Allah mengampuni mereka. semoga Allah mengampuni saya juga..

saya bukanlah seorang Atheis, bukan juga Agnostik

Islam dan Islamisme
penting untuk membedakan dua hal diatas sebagai dua landasan berpikir yang berbeda. anda mungkin pernah dengar tentang berita murni dan berita yang sudah diinterpretasikan oleh orang lain. berita murni adalah berita yang an sich dan apa adanya karena kita mengetahuinya dari sumber beritanya langsung, sedang berita terinterpretasi adalah berita yang sudah diberi interpretasi oleh orang lain.
sebagai contoh:
berita murni (bm): anak itu memukul ayahnya sendiri.
berita terinterpretasi (bt): anak durhaka itu memukul ayahnya yang sudah tua.
dua berita diatas menyampaiakan peristiwa yang sama, namun dengan cara yang berbeda. bm disajikan apa adanya tanpa menambahkan pandangan penyampai berita, sedang bt sudah dibubuhi pendapat dari penyampai berita sehingga terkadang mengubah esensi berita itu sendiri. tapi yang terpenting bukan itu, bt juga terkadang memaksakan satu interpretasi tertentu. padahal interpretasi tersebut belum tentu sesuai dengan fakta. misalkan pada kasus anak yang memukul ayahnya seperti contoh diatas. dalam bt, disebutkan bahwa anak tersebut adalah anak yang durhaka. jangan terburu-buru bung! jika si penyampai bt hanya menyaksikan peristiwa pemukulannya saja, maka interpretasinya bisa jadi keliru. misal, ternyata sebelum ia memukul ayahnya, ayahnya itu kedapatan memukuli ibunya hanya karena si ibu bertanya kemana saja ayahnya itu tadi malam. apa anda masih berpikir kalau si anak adalah anak durhaka??

dalam kasus Islam dan Islamisme, Islam adalah berita murni sedang Islamisme adalah berita terinterpretasi. Islam adalah Islam itu sendiri. yang mempunyai tujuan sebegitu mulia. sedang Islamisme adalah ide-ide tentang islam dari manusia. eits, tunggu dulu. saya tidak sedang bilang kalau Islamisme itu sesuatu buruk. anda boleh saja mengemukakan ide-ide anda tentang agama, namun jangan anda kemudian mengatasnamakan agama dan menyatakan diri bahwa interpretasi anda tentang agama lah yang paling benar. sedang yang lain harus mengikuti interpretasi anda jika tidak ingin dibilang "kafir".

sialnya, para penggiat agama -- saya tidak ingin terburu-buru menyebut mereka sebagai ahli -- sekarang ini sering memaksakan sati interpretasi saja kepada masyarakat luas. permasalahan bid'ah contohnya. contoh lainnya adalah konsep negara Islam dan Demokrasi. beberapa gerakan berasaskan Islam -- yang saya tidak ingin menyebutkan "merek"nya -- menolak konsep demokrasi demi mewujudkan -- atau jangan-jangan memaksakan -- negara Islam. dengan dalih bahwa demokrasi adalah sistem barat dan hanya buatan manusia. akhirnya orang-orang yang menolak interpretasi mereka (gerakan islam yang menolak demokrasi) disebut sebagai muslim yang tidak kaffah dalam menjalankan Islam. hal ini menunjukkan betapa gerakan Islam yang tidak mengakui demokrasi dan memaksakan konsep negara Islam sebagai pihak yang memaksakan satu interpretasi saja kepada masyarakat. padahal di Al-qur'an tidak pernah ada ayat yang menyebutkan bahwa demokrasi harus ditolak karena hanya buatan manusia.

lebih jauh seorang Moammar Qadaffi pernah menolak tingkat keshahihan hadist-hadist. "mari kita tak usah menerimatingkat keshahihan hadist dan menerima hadist apabila hadist tersebut sesuai dengan Al-qur'an." ujarnya. alasan Moammar Qadaffi cukup masuk akal. ia berpendapat bahwa kemungkinan tingkat keshahihan dapat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politis.

pada kasus yang saya hadapi sendiri adalah ketika saya terlibat perdebatan tentang masuknya tokoh penjahat kemanusiaan Jend. Soeharto dalam iklan "partai dakwah" -- merek tidak saya sebutkan. ketika saya sedang berapi-api menerangkan kejahatan Soeharto di Tanjung Priok, ia dengan enteng menjawab "Kita harus memaafkan" lalu keluarlah dalil-dalil dari mulutnya tentang Islam dan keharusan memaafkan -- yang saking banyaknya, saya sampai lupa. nah, dalil-dalil itu dikeluarkan olehnya dalam rangka membela perspektif "partai dakwah"nya. maka saya tanpa ragu-ragu menyebut bahwa dalil-dalil tersebut disampaikan dalam rangka menyampaikan interpretasinya sendiri. sebenarnya saya dan mulut lancang saya bisa saja menjawab bahwa memaafkan bukan berarti harus memasukkan si brengsek itu ke dalam iklan politik murahan macam begitu!

Meributkan Ketuhanan
suatu hari saya terlibat satu perdebatan didepan Musolah kampus. saya mengutip sebuah ayat bahwa manusia itu diharuskan belajar dan menimba ilmu. saat itu saya ingin lawan debat saya jangan hanya mempelajari Al-qur'an semata, tapi juga sumber-sumber ilmu yang lain. kemudian ia menyebutkan bahwa ayat yang saya kutip itu kurang. ada hal transendental yang tidak saya tambahkan, yaitu kalimat terakhir ayat yang berbunyi "dengan izin Allah". nah, saya tidak ingin bilang bahwa kawan saya itu salah. saya hanya ingin bilang kalau hal-hal transendental macam itu ada baiknya kalau tidak diributkan di kalangan masyarakat luas. sebagai misal ketika ingin membuat satu undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. maka yang menjadi alasan adalah moralitas, bukan karena pornografi Pornoaksi dilarang oleh agama dan tidak disenangi oleh Allah. hal-hal transendental yang kita percayai tidak dapat begitu saja dipercayai oleh orang lain. oleh karena itu, seperti yang sudah saya bilang, ada baiknya kalau hal tersebut tidak dijadikan sumber kekisruhan yang baru. Rasulullah Muhammad pun lebih suka menggunakan dalil Aqliya (yang berdasarkan logika rasionalitas) ketimbang Naqliyah (kitab textual)

Jebakan Simbol
saat undang-undang APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) akan disahkan, gerakan Islam ramai-ramai turun kejalan untuk mendukung dan memaksa pemerintah tidak lagi menunda-nunda. namun ketika SKB 4 menteri tentang buruh akan ditetapkan, sepengetahuan saya, tak ada jilbaber militan atau aktivis musolah yang turun ke jalan. tidak ada gerakan Islam yang biasanya vokal. hanya serikat buruh dan sedikit mahasiswa beraliran kiri.

barangkali gerakan-gerakan Islam takut pola perjuangannya menjadi sama dengan gerakan-gerakan kiri. atau barangkali gerakan-gerakan Islam memnganggap kalau fenomena tersebut tidak terlalu penting untuk dikritisi karena tidak bersentuhan langsung dengan tema agama. entahlah.. yang jelas saya kecewa.

yang saya takutkan adalah gerakan-gerakan Islam batang hidungnya tidak muncul untuk menentang SKB 4 menteri tentang perburuhan karena mereeka terjebak simbol perjuangan. bahwa buruh adalah simbol perjuangan para sosialis sehingga tidak perlu dibela. padahal, bukankah kebanyakan buruh juga seorang muslim!? bukankah keadilah dan kemanusiaan juga seharusnya diperjuangkan oleh geraka Islam?

akhirnya, kita akan menyimpulkan tiga hal penting lewat tulisan saya ini. pertama, jangan paksakan satu interpretasi tentang Islam pada masyarakat luas. karena kebenaran adalah sesuatu yang sifatnya monolitik. kedua, jangan paksakan pandangan transendental yang anda yakini pada pihak lain. karena hal tersebut akan membuat kemajuan menjadi mandeg dan kita akan terjebak pada satu lubang dalam waktu yang lama. kesadaran transendental adalah murni kesadaran individu yang justru akan menjadi cacat bila dipaksakan. ketiga, simbol memang penting, namun jangan terpaku pada simbol tersebut. karena esensi agama Islam itu luas dan tidak dapat dikurung oleh simbol apapun!
Azhar Irfansyah

Sabtu, 13 Desember 2008

pak tua jasa angkut

Sabtu siang. cuaca sedang bagus untuk pindah kos. karena mustahil untuk memindahkan semua barang-barang saya dari kosan lama ke kosan yang baru tanpa jasa angkut, makanya saya segera pergi ke perempatan selatan condong satur. sejauh yang saya ingat, di perempatan tersebut berderet-deret mobil jasa angkut.

benar saja! di perempatan tersebut ada berderet-deret mobil bak jasa angkut. saya hampirilah salah satunya secara acak. setelah saya ketuk kaca mobilnya yang kusam, keluarlah pak tua. saya taksir umurnya kurang lebih 65 tahun.
"pak, saya mau pindah kos.. aku minta bantu bisa?"
"oh.. bisa-bisa! kapan?"
"emmm.. jam dua nanti bisa? soalnya aku mau siap-siap dan istirahat sebentar dulu. biayanya berapa?"
"wah,.. mendingan sekarang aja..! mumpung cerah. memangnya dari mana ke mana pindahnya?
"ooo... ya udah. dari dekat sini koq, pindahnya ke dekat UNY. Lembah, Karangmalang tahu kan?
"tahu tahu.. ada barang-barang? banyak tidak?"
"ada,.. tidak terlalu banyak sih.."
"lima puluh ribu ya."
saya merogoh kocek sebentar, oh ada! "ya ya.. lima puluh ribu." ujar saya yang mulai kepanasan disengat matahari.

nah, pak tua ini mulai menjadi menyebalkan saat membantu mengangkut barang-barang saya. daripada membantu, ia lebih banyak mengomel. "mending kamu angkat yang ini dulu" atau "coba dibopong dari bawah!" atau "duh duh.. tunggu.. saya jadi kesal". Bah! apa-apaan dia ini! makanya saya omeli balik. "pak, daripada mengomel, mending bantuin saya supaya cepat selesai! sedikit lagi nih..!" ujar saya sengit. "saya ini sudah tua.. waktu muda dulu saya kuat! sekarang sudah tidak lagi." jawabnya. makanya kemudian saya maklum dan mulai mengangkat kopor berisi buku-buku yang seharusnya diangkat dua laki-laki dewasa. BRAK BRUK BRUK! gagang kopor patah, buku-buku bergeletakan.. "makanya dibopong dari bawah dengan hati-hati!" ujar pak tua jasa angkut santai sambil menyobek bibir gelas air minum kemasan.

Hanya kesopanan saya yang menahan caci-maki keluar dari mulut..

peluh keringat, pegal di punggung, panas sengatan matahari jadi satu di tubuh saya yang malang.
"nah, karena tadi saya bantu mengangkat, tolong upah saya ditambah dua puluh ribu..!" ujar pak tua jasa angkut. saya memandang dengan heran sekaligus menahan kesal. setelah berhasl menguasai diri, saya bilang pada pak tua.. "kan tadi perjanjiannya lima puluh ribu pak..!". "ya,.. tolong ditambah dong.. saya pegal nih.." hah! pegal!? satu rak buku kosong yang hampir tidak ada beratnya, ember kecil berisi pakaian kotor yang dua kilo pun tak sampai, ransel berisi sehelai handuk, boks kecil dengan tumpukan kertas...

saya tidak bergeming..

pak tua mulai menjadi aneh. ia bercerita bahwa ia sebenarnya adalah seorang ustadz lulusan IAIN tahun 1972. lebih jauh lagi dia juga mengaku terlibat dalam pemberantasan PKI bersama tentara. "saya punya fotonya di mobil" ujarnya menawari saya foto saat ia bersama tentara memberantas PKI. dikiranya saya bakal simpati.. cih! itu sih dosa politik!

"saya tambahin sepuluh ribu nih pak.." ujar saya padanya sambil menyerahkan dua limaribuan. berharap ia segera selesai dengan romantisme masa lalunya.

ternyata tidak.. ia bilang masih kurang sepuluh ribu. jadi mulalilah ia bercerita bahwa setiap selasa ia mengajar tafsir, dan kamis mengisi pengajian untuk ibu-ibu. "saya dulu juga pernah di Jakarta. lima tahun!" ujarnya setelah ia tahu kalau saya berasal dari Jakarta. lalu mulailah cerita tentang selepas kelulusannya dari IAIN. ia juga mengaku bisa berbahasa arab, lalu dipraktekkan lah bahasa arabnya itu.. "Masmuka? (siapa nama anda?)". saya diam saja sekalipun mengerti.

lalu saya sodorkan selembar sepuluhribuan.

Hanya kesopanan saya yang menahan caci-maki keluar dari mulut..

DASAR TUA BANGKA SERAKAH!!!!!!! PEDULI SETAN!!!
Azhar Irfansyah, Jogja 2008

Minggu, 30 November 2008

SPG rokok

I

Malam itu gerimis turun dengan ragu-ragu. Sedang aku berada dalam sebuah kafe, bersama secangkir kopi yang rasanya seperti filsafat. Sengaja kubiarkan dingin..

Ditangan, tergenggam Marx untuk pemula. Hubungan Produksi, Basis Material, Dialektika, Alienasi, Nilai Lebih, Suprastruktur, Kesadaran Kelas, Revolusi Buruh.. Menarik, ini menarik! sekalipun aku hampir sinting dibuatnya.

Tadinya, kukira cuma aku seoranglah yang limbung kesadarannya (karena sebuah teori).. namun ternyata ada seorang yang lain. Seorang gadis yang membuat geleng-geleng kepala. "cantik-cantik koq tolol betul!"

Bajunya ketat (maksudku sangat ketat!) dengan paduan warna yang diatur agar mirip salah satu bungkus rokok. seperti badut saja! kasihan...

II

Jadi ini apa yang dimaksud oleh para orang brengsek itu dengan kebebasan?? Kemanusiaan?? Kalau ya, berarti kita harus merekonstruksi tentang makna apa itu kebebasan dan kemanusiaan! Kenapa si gadis SPG rokok harus memakai baju ketat warna-warni itu? Bukan, bukan! ini bukan soal moral! Aku cuma mau tahu.. kenapa baju ketat dengan warna-warni tolol itu harus dipakai? toh si gadis sudah cukup cantik tanpa menggenakan baju aneh itu!?

Ini lah apa yang disebut Alienasi. Manusia tercerabut dari kemanusiaannya, kata Marx. yang memiliki modal lah yang menentukan baju apa yang harus kita pakai. Kostum Barney si dinosaurus ungu, atau telanjang samasekali! Nah, kebetulan si gadis SPG ini kedapatan pemodal yang mesum! Jadi, baju yang digunakan pun harus super ketat sampai batas yang tidak mungkin diketatkan lagi. Si gadis SPG selaku pekerja tanpa modal yang sepenuhnya menjual tenaga tak boleh memilih.

Si pemodal tak punya urusan soal kemanusiaan dan kebebasan hakiki si pekerja. Mungkin sebelumnya si manajer (tangan kanan serakah si pemodal) sudah berujar pada si gadis SPG.. "baju ketat dengan rok super-mini dan warna-warni tolol inilah yang akan memberimu uang! kalau kau tidak mau pakai, silahkan mati kelaparan atau melacur saja!" Nah, nah,.. sekarang tubuh molek si gadis SPG sudah jadi pusat perhatian hampir semua laki-laki di kafe.. dari si tua bangka berotak kotor yang mulai siul-siul sambil cengengesan, sekelompok pemuda yang menghentikan obrolannya, Baristawan di belakang meja kopi, sampai aku (tentu saja! aku normal! jangan salahkan mataku yang tidak buta dong!) yang mengabaikan sub-bab tentang nilai lebih.

III

Lamunanku buyar, gadis SPG rokok itu sekarang ada didepanku. "rokoknya mas.. kita sedang ada promosi loh..! kalau masnya.." Ujarnya lembut sambil mengumbar senyum ramah. Kepura-puraan a la kapitalisme yang membuatku bertambah kasihan pada nasib dan pilihan si gadis. Aku lalu memotong dengan cepat, sadis, dan dingin. "maaf, aku nggak merokok mba!" tiba-tiba, Aku menyesal karena nada bicaraku terlalu sadis, barangkali.

Si gadis SPG melengos kecewa dengan helaan nafas lelah. Aku tiba-tiba berandai-andai.. dan terlalu yakin pada pengandai-andaianku sendiri: Oh,.. jangan-jangan ia menjadi SPG karena mencemaskan biaya kuliahnya yang belum ia lunasi. Dan oh,.. jangan-jangan ia menjadi SPG rokok agar bisa menebus obat ibunya yang sakit parah..! Bagaimana ini? Pertama kalinya aku merasa berdosa karena tidak membeli rokok. Jika ia berkecukupan, rasanya tidak mungkin mau menjual harga diri seperti itu.

Ah, tak tahulah.. Kalau kelak aku punya anak gadis, ia takkan kubolehkan jadi SPG rokok!

IV

Aku menyeruput kopiku yang sudah dingin, diluar gerimis turun dengan ragu-ragu. Betapa penindasan itu bukan cuma ada di novel-nevel Pramoedya Ananta Toer, bukan cuma di dongeng-dongeng Maxim Groky! Ia hidup dalam kenyataan.. kejam dan tak pandang bulu! Lalu, ketimbang memikirkan tubuh molek si gadis SPG, aku lebih memilih membayangkan kondisi damai dan bebas yang digambarkan salah satu penyair Cina kuno. bunyinya begini : saat sore, para penduduk bersama-sama pergi ke pemandian air hangat. saat matahari terbenam, para penduduk pulang sambil bernyanyi bersama-sama ditemani kicau burung-burung senja.. Datanglah benderang, usirlah kegelapan penindasan!

NB:rasa kopi Espresso yang kupesan di salah satu kafe di Jogjakarta malam itu rasanya benar-benar aneh..! seperti... seperti... ya,.. seperti filsafat!

Azhar Irfansyah/Multatuli III, Jogja 2008

Tak Ada Melati di Jayagiri

Suatu malam, aku asyik-masyuk dalam kenangan..

Oo.. betapa romansa itu abadi!
seburuk apapun kisahnya..

Melati dari Jayagiri
kuterawang keindahan kenangan
hari-hari lalu di mataku
tatapan yang lembut dan penuh kasih

Namun mimpi memang ironi dalam hubungannya dengan kenyataan.
Seperti semburat oranye di ufuk barat sebelum gelap datang, kenangan adalah siksaan batin tentang gambaran yang tak pernah terulang..
tapi aku justru ingin pulang pada kenangan itu..

Kuingat di malam itu
kau beri daku senyum kedamaian
hati yang teduh dalam dekapan
dan kau biarkan kukecup bibirmu

Kulihat dirimu sendiri ditepian kehidupan.. kuulurkan tangan, tapi bukan aku yang kau tunggu..
Kau bilang kau sedang menunggu laki-laki yang datang bersama cahaya warna-warni.
Betapa setia kau dalam gelap pekat..

Tapi bagaimana..? yang datang hanya aku.. hanya aku!

Kau hanya tersenyum..
Kau bilang kau sedang menunggu laki-laki yang datang bersama cahaya warna-warni.

Mentari kelak kan tenggelam
gelap kan datang
dingin mencekam
harapanku bintang kan terang
memberi sinar dalam hatiku

Harusnya tak usah kau berikan padaku senyummu yang berpendar-pendar diantara cahaya itu.
Harusnya kau tuangkan air comberan beracun ke dalam gelasku!
Biarkan aku mejadi manusia tanpa kisah cinta samasekali!

Betapa kenangan itu seperti segelas racun cemara,..
sekarang pun aku menggelepar.

Kuingat di malam itu
kau beri daku senyum kedamaian
mungkinkah akan tinggal kenangan
jawabnya tertiup di angin lalu

Kukira aku memang tak akan bisa berdamai dengan kenangan..

Duh, andai sore itu abadi!

Tak Ada Melati di Jayagiri.. ekosistemnya tak memungkinkan..
Melati itu pernah ada dipelupuk mataku,.. sampai sekarang pun masih ada.
Sekalipun hampir layu!

aku sungguh-sungguh ingin pulang pada kenangan itu..

NB: paragraf yang dicetak miring adalah kutipan lagu
"Melati di Jayagiri" karya Iwan Abdurrahman

Multatuli III, Jogja 2008

Jumat, 28 November 2008

memisahkan segelas susu dan tai kucing.

segelas susu: aromanya gurih, rasanya lezat berlemak, ronanya putih pekat, dan lagipula ia baik untuk tubuh

tai kucing: bentuk, tekstur dan aromanya menjijikan! bikin mual!! soal rasa dan dampak bagi tubuh jika kita mengkonsumsinya,.. emmm.. coba tanya pada orang yang pernah mengunyah dan menelan tai kucing! saya hanya bisa menjamin kalau rasanya tidak lebih enak dari arem-arem isi daging cincang.

sekilas, dua hal tadi (segelas susu dan tai kucing) adalah dua objek yang sama sekali berbeda dan mudah dipisahkan. sayangnya, dalam dunia sosial-politik, segelas susu dan tai kucing terkadang menjadi satu. lalu kita tidak bisa membedakan, mana yang segelas susu, mana yang tai kucing.

semisal, ketika kita berbicara tentang pembusukan kebebasan pers dalam keadaan kapitalis-korporatokratik. mungkin benar jika ada yang berpendapat bahwa posisi kebebasan pers tidak lagi sesuai normanya (akhrnya membela kepentingan yang berduit, atau memberitakan sesuatu yang fantastis dan tidak mencerdaskan dengan tujuan utama : uang!). tetapi jika kemudian ada yang dengan sembrono berujar bahwa kebebasan pers adalah titik lemah dari masyarakat demokratis, berarti ia tidak bisa membedakan: mana segelas susu, mana tai kucing.

pasalnya, korporatokrasi bukan hanya busuk, tapi juga menularkan kebusukannya pada yang lain. jangankan kebebasan pers, demokratisasi saja bisa tertular kebusukan korporatokrasi.

media penyebaran kebusukan korporatokrasi adalah uang, sedang gejala ketertularannya adalah rasa tamak yang tak habis-habis. ketika satu individu sudah tertular, maka ia akan menjadi maniak uang yang busuk sikap dan sifatnya.

bagitu juga sebuah institusi pers..

secara normatif, pers memilikki tugas untuk memberi informasi, menghibur, mendidik, dan melakukan kontrol sosial dengan penuh tanggung jawab. hanya pada perkembangannya, fenomena menunjukkan bahwa pers menjadi pihak yang tidak bertanggung jawab dan ceroboh. kebebasan pers digunakan untuk menyampaikan berita-berita fantastis dengan tujuan akumulasi keuntungan tanpa mempertimbangkan dampaknya,.. apakah mencerdaskan atau membodohi masyarakat? pers juga terkadang -- lagi-lagi karena ketamakan terhadap uang -- menutup-nutupi satu kasus dan membesar-besarkan kasus yang lain.

tapi semua hal yang saya tulis di paragraf sebelum tidak dapat dijadikan landasan untuk menjadikan pers sebagai kambing hitam. seorang mekanik yang handal adalah mekanik yang mampu menemukan letak kesalahan sebuah mesin -- dan tentunya dapat memperbaikinya juga. jika ada pihak yang menyalahkan kebebasan pers, berarti observasi sosialnya kurang teliti. bahkan mentah! karena kebebasan pers itu adalah sesuatu yang baik, terutama jika kita ingin hidup bersama dalam lingkungan demokratis. kebebasan pers menjadi buruk (dengan tidak lagi membela demokratisasi dan mengutamakan keuntungan diri sendiri) karena pengaruh ketamakan korporatokrasi.

yang menjadikan pers tidak berjalan sesuai etikanya adalah penuhanan ketamakan. bukan hanya pers, tapi juga polisi, petugas hukum, anggota parlemen.. semuanya dirusak oleh ketamakan a la korporatokrasi bukan kebebasan pers!

nah jadi, saya harap setelah ini kita dapat melihat lebih dalam untuk mengetahui: mana segelas susunya, mana tai kucingnya. apakah kebebasan pers tai kucingnya? atau ketamakan korporatokrasi lah yang sebenarnya tai kucing yang busuk dan menjijikan itu? saya harap anda dapat membedakan. tentunya anda tak mau kan meminum segelas susu yang tercemplung tai kucing didalamnya!?

Azhar Irfansyah, Jogja 2008

kekasih tanpa kekasih

aku minta maaf jika rindu ini sebegitu lancangnya.. rinduku ini berkata seolah kau sudah menjadi milikku saja! egosi memang. jadi,.. tolong dimaafkan ya!

tapi sungguh, aku tak bisa membungkamnya.. ia terlalu liar! fasih dalam beribu bahasa.. begitu gombal dalam memuja, begitu bergelora dalam mencinta, begitu tulus dalam menanti..

dan ialah, dengan segala dayanya yang sebegitu kuat tak terlawan, yang memaksaku untuk tetap berdiri menunggumu di persimpangan ini..

sekalipun harapku sudah semakin usang saja..!

barangkali aku terlalu takut untuk mengakui kenyataan yang begitu getir! aku takut kau tidak pernah muncul di batas cakrawala yang kupandangi, aku takut kau tak pernah datang!

dan, barangkali saja kau mau datang.. aku punya pinta padamu.. tolong bawa juga senyummu itu! senyum yang sudah lama sekali kutunggu.

tolong bawa senyum itu agar kau tak begitu asing bagiku yang telah menunggu sedemikian lama ini..
Multatuli III, Jogja 2008

Kamis, 27 November 2008

Belajar dari Kisah Umar bin Abdullah

kisah ini kudengar dari seorang khatib tarawih pada bulan Ramadhan yang lalu...

dikisahkan mengenai Umar Bin Abdullah, seorang pemimpin muslim yang adil dan bijaksana. suatu hari, anak Umar Bin Abdullah membeli cincin Giok yang harganya sangat mahal. salah seorang yang melihatnya kemudian melaporkan perihal tersebut kepada Umar Bin Abdullah.
"ya Umar, demi Allah saya tadi melihat anak anda membeli cincin Giok dari Cina yang harganya sangat mahal di pasar." ujar si pelapor. mendengar kabar tersebut, alangkah marahnya Umar
"pangil anakku. suruh dia menghadap ayahnya!" ujar Umar dengan tegas.
tak lama kemudian, menghadap lah si anak kepada Umar. lalu umar berujar dengan lembut pada anaknya. "ayah dengar, kau membeli cincin giok yang sangat mahal.. apa itu betul anakku?" lalu yang ditanya menjawab. "ya ayah.. saya membelinya sesiang tadi, selepas zuhur." mendengar pengakuan anaknya, Umar bin Abdullah lalu berujar " wahai anakku, juallah cincin giok itu ke pasar.. setelah itu, berilah makanan kepada para fakir miskin. lalu, jika memang kau menginginkan sebuah cincin, belilah yang terbuat dari besi. lalu buat ukiran huruf arab di lingkar luar cincin tersebut bertuliskan : sesungguhnya Allah mencintai hambanya yang tahu nilai dirinya sendiri." sang anak lalu mengangguk patuh.


dari cerita tersebut, kita dapat menarik pelajaran. bahwa sebagai makhluk sosial , manusia hendaknya tidak menjadi egois. seorang manusia haruslah sadar bahwa dunia tidak dibangun oleh dirinya sendiri, sekaya-raya apapun dia. untuk itu sebuah kepedulian adalah sesuatu yang sangat berarti. tanpa kepedulian terhadap sesama, kita akan jadi segerombolan biadab yang kanibal.
dalam petuah akhir Umar bin Abdullah, ada pesan untuk anaknya dan untuk kita juga tentunya, kita terkadang mencoba untuk menambah nilai diri kita dengan melapisi jasmani kita dengan benda-benda mewah. mobil mewah, handphone keluaran terbaru, perhiasan, dan lain-lain. padahal sebenarnya, manusia sudah memiliki nilai yang sebegitu mulia sebagai khalifah alam. ukuran nilai manusia dibangun dari bagaimana dia menjalankan peran khalifah tersebut. malah terkadang, hasrat terhadapa kemewahan yang membabi-buta-lah yang membuat kita menjadi kebinatang-binatangan..!
Azhar irfansyah, 2008

Rabu, 26 November 2008

Kebuntuan Dialektika Liberalisme

Kaum liberal menganggap semakin sedikit campur tangan negara di pasar, maka kesejahteraan akan semakin baik. Hal tersebut didasari dua postulat mereka. Pertama negara dan sikap campur tangannya akan cenderung korup. Kedua setiap individu yang terlibat dalam sistem pasar mempunyai kapabilitas bekerjasama. Dari dua postulat atau premis tadi, terbentuk lah sebuah silogisme Laissez-Faire.
Untuk postulat pertama, saya kira adalah hal yang masuk diakal, hanya kelemahan postulat tersebut adalah tidak dijelaskan “sikap campur tangan yang seperti apa yang merugikan itu?” atau “bagaimana metode intervensi pasar itu dilakukan agar tidak terjadi korup?”. Sedang postulat kedua, tidak lain tidak bukan adalah melambangkan utopia Liberalisme. Bahwa kapabilitas kerjasama itu benar saja adanya, namun sampai kapan antar individu itu akan tetap bekerjasama? Apa saja yang mempengaruhi kerjasama tersebut?
Disini saya ingin mengajukan usul pribadi untuk Adam Smith dan kawan-kawan liberalnya – “harusnya, kalian baca “ABC Dialektika Materialis”nya Trotsky! Hanya beberapa halaman saja koq!”. Dalam logika dialektika, sesuatu yang eksis akan selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Itu artinya, kondisi keterbebasan pasar pun akan berubah dan tidak pernah sama. Hal tersebut tergantung pada ketertundukan pasar pada hukum-hukum alamiah tertentu.Berarti, kondisi liberal pasar sebenarnya tidak bisa diartikan secara vulgar atau selalu sama dengan kondisi liberal pasar itu sendiri. Kondisi liberal pasar hanya dapat menjadi sama dengan konsepnya pada “saat tertentu” saja. Bagaimana kemudian dijelaskan bahwa “saat tertentu” itu adalah interval waktu yang sangat sempit menandakan kondisi liberal pasar itu adalah hampir sama sekali atau malah memang sepenuhnya utopis!
Kebuntuan dialektika liberalis yang lain, adalah pemahaman rasional sempit soal keterkaitan antara satu fenomena dengan fenomena yang lain. Invisible Handnya Adam Smith contohnya. Tidak dijelaskan lebih lanjut soal syarat-syarat yang kemudian memungkinkan Invisible Hand bekerja sesuai konsepnya – dan bukannya mencekik yang lain!. Konsep kerjasama antar individu dalam pasar yang sebegitu dipercaya oleh kaum Liberalis adalah sangat lemah adanya. Karena – sekali lagi saya tegaskan – kerjasama itu akan dipengaruhi oleh hukum alamiah lain yang lebih kuat. Kapabilitas kerjasama individual memang dapat dikategorikan sebagai sesuatu yang alami, namun kapabilitas kerjasama akan tunduk pada hukum alamiah lainnya. Motif kerjasama misalnya.
Berarti, keresahan utama kaum liberal – yang masuk akal menurut saya – adalah ketidak-percayaan mereka terhadap negara dan elemen-elemennya yang cenderung korup atau meminjam istilah Adam Smith “melakukan kesalahan administatif”. Saya pun memiliki kekhawatiran yang sama.. pengawasan dan pengontrolan pasar tidak mungkin dilakukan oleh seorang pemimpin yang maniak atau kadar kejujurannya rendah, tidak juga oleh sekelompok orang tidak tahu diri yang menjarah rakyat.
Jika memang yang ditakutkan adalah kecenderungan korup suatu rezim, maka untuk menyikapinya, tak perlu berlebihan dengan memutus hubungan pasar-negara. Pengawasan dan kontrol pasar dilakukan rakyat lewat demokrasi partisipastif dan desentralitatif atau yang dalam tulisan David Beetham, Liberal Democracy and Deliberative Choice disebut sebagai “Popular Control”. Itu berarti, pasar diawasi langsung oleh semua pihak. Baik aktor yang aktif dan mengumpulkan kapital dalam sistem pasar, ataupun aktor-aktor yang selama ini ternyata dirugikan oleh kebebasan pasar, sehingga kemudian menciptakan pasar sebagai zona yang lebih fair.
Azhar Irfansyah, 2008

Selasa, 25 November 2008

Mata Pisau

Berteman kopi murahan, malam itu aku membaca hujan..
O, betapa kolosal!
sementara revolusi meringkuk tanpa pembela.

Lalu terlihat kilat mata pisau. Fasih ia dalam bahasa tragedi.

lalu kau lihat, kau dengar..
crasshh! anak-anak putus sekolah!
crasshh! para buruh ditindas!
crasshh! petani lokal melarat!
crasshh! para wanita pergi melacur!
crasshh! pasien miskin tak tertolong!
crasshh! kelaparan!
crasshh! perang!

sementara luka derita menganga lebar, Mata pisau mulai berbicara tentang hakikat hidup.

"dusta kau brengsek!!" teriak Wiji Thukul lantang. jantan!
crasshh! Wiji Thukul senyap ditelan gelap.

Berteman kopi murahan, malam itu aku membaca hujan..
sementara di tangan tergenggam sebuah buku "Aku Ingin Jadi Peluru, kumpulan puisi Wiji Thukul"
sementara Mata Pisau terus membunuhi kemanusiaan, kami perlahan sudah berubah menjadi baja.

Berteman kopi murahan, malam itu aku membaca hujan..
O, betapa kolosal!
Suatu hari nanti, Revolusi kami akan lebih kolosal ketimbang hujan malam itu..

Multatuli III, Jogja 2008