Jean-Jacques Rousseau lahir di Jenewa, Swiss pada tahun 1712. Ibunya meninggal tak lama setelah melahirkannya. Rousseau yang sebatang kara – ayahnya meniggalkannya sendirian di Jenewa setelah diusir karena sering terlibat kekerasan – akhirnya meninggalkan Jenewa dan memilih untuk mengembara ke Prancis pada tahun 1728, saat itu ia baru berusia 16 tahun. Rousseau baru menjadi terkenal pada tahun 1750-an. Namanya dilambungkan oleh karya-karyanya yang antara lain Discourse on the Origin Inequality (1755); La Nouvelle Heloise (1761); Emile (1762); Du Contract Social (1762); dan Confessions (1770).
Dalam Magnum Opus-nya yaitu Du Contract Social ia menuliskan dua hal penting mengenai perang dan perdamaian. Bahwa perdamaian bisa jadi merupakan salah satu dari sekian penderitaan yang harus ditanggung oleh sekelompok rakyat. Ia menulis dalam bukunya bahwa perdamaian yang dijamin oleh penguasa tiran bukanlah perdamaian. “kedamaian juga terdapat di penjara bawah tanah, tetapi apakah tempat itu layak untuk dijadikan tempat tinggal?” tulisnya dalam Du Contract Social. Hal yang menarik adalah Rousseau menulis ide-idenya mengenai perang dan perdamaian dalam bab perbudakan. Menurutnya, perang dapat menjadi awal dari perbudakan, sedang perdamaian bisa jadi hanya memperpanjang perbudakan tersebut.
“Para tawanan Yunani dalam gua Cyclops menikmati kedamaian, padahal mereka sedang menunggu waktu untuk dieksekusi.” Begitulah ilustrasi Rousseau untuk menggambarkan bahwa tidak semua perdamaian itu sebaik yang kita kira. Beberapa bentuk perdamaian semu justru akan mengantarkan kita pada kehancuran diri kita sendiri.
Lebih lanjut, Rousseau juga berpendapat bahwa perang adalah bentuk perbudakan yang paling awal. Rousseau menganggap bahwa perang bukanlah relasi antar-individu. Ia lebih melihat bahwa perang adalah relasi antar-negara yang bersangkutan. Jika didalam perang ada individu-individu yang kebetulan bermusuhan, maka mereka akan bermusuhan dalam kapasitas mereka sebagai prajurit. Mereka tidak bermusuhan secara pribadi. Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat mengirimkan prajuritnya ke Iraq untuk menghancurkan Garda Republik yang melindungi Saddam Hossein. Serdadu Amerika Serikat samasekali tidak memiliki masalah pribadi dengan gerilyawan Garda Republik, hanya saja kebijakan perang dari pemerintah Amerika Serikat yang dipimpin G.W. Bush mengharuskan si serdadu untuk menghabisi gerilyawan Garda Republik dengan mempertaruhkan nyawanya. Padahal hak hidup adalah hak yang paling mendasar bagi manusia, namun si serdadu mempertaruhkannya saat perang – tentu saja! karena gerilyawan tersebut pasti balas menembak sekalipun dengan kalasinakhov butut! –
Barangkali begitu juga dengan si gerilyawan.
Contoh yang ditulis di paragraph sebelumnya memperlihatkan betapa si serdadu telah memberikan kebebasannya dan mempertaruhkan nyawanya untuk perang yang – sebenarnya – bukan urusannya melainkan urusan kepala pemerintahannya. Dengan sedikit kibul-kibulan nasionalisme dan kebebasan, si serdadu kemudian masuk ke dalam pola perbudakan yang paling awal. Namun – menurut saya, tidak semua perang merupakan perbudakan yang paling awal jika perang tersebut memang benar-benar menyangkut kepentingan para serdadu atau peserta perang.
Selanjutnya, perang juga menciptakan perbudakan setelah perang. “Hak untuk memperbudak musuh lahir dari hak untuk membunuhnya”. Tulis Rousseau. Hak untuk membunuh bisa jadi lahir lewat hasil perang. Pihak yang kalah dalam perang akan menemukan dirinya serba terpojok oleh keadaan. Hal tersebut mengakibatkan kesepakatan-kesepakatan antara pihak yang kalah dengan pihak yang menang bukanlah kesepakatan yang berimbang. Tentu saja keuntungan maksimal akan didapat oleh pihak yang menang. Sedang pihak yang kalah akan menggadaikan apa saja – jika ia tidak punya semangat kehormatan a la Samurai – agar bisa terus hidup, termasuk kebebasan dirinya sendiri. Terciptalah perbudakan.
Nah, semoga ide-ide Rousseau dapat membuat pembaca menjadi semakin kritis dalam melihat fenomena perang dan perdamaian. Perdamaian bukanlah sesuatu yang akan jatuh begitu saja dari langit. Perdamaian yang hakiki akan tercipta lewat perjuangan manusia itu sendiri. Seperti kata John Lennon, “War is over! If you want..”
Azhar Irfansyah, Jogja 2008 almost 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar