Minggu, 30 November 2008

SPG rokok

I

Malam itu gerimis turun dengan ragu-ragu. Sedang aku berada dalam sebuah kafe, bersama secangkir kopi yang rasanya seperti filsafat. Sengaja kubiarkan dingin..

Ditangan, tergenggam Marx untuk pemula. Hubungan Produksi, Basis Material, Dialektika, Alienasi, Nilai Lebih, Suprastruktur, Kesadaran Kelas, Revolusi Buruh.. Menarik, ini menarik! sekalipun aku hampir sinting dibuatnya.

Tadinya, kukira cuma aku seoranglah yang limbung kesadarannya (karena sebuah teori).. namun ternyata ada seorang yang lain. Seorang gadis yang membuat geleng-geleng kepala. "cantik-cantik koq tolol betul!"

Bajunya ketat (maksudku sangat ketat!) dengan paduan warna yang diatur agar mirip salah satu bungkus rokok. seperti badut saja! kasihan...

II

Jadi ini apa yang dimaksud oleh para orang brengsek itu dengan kebebasan?? Kemanusiaan?? Kalau ya, berarti kita harus merekonstruksi tentang makna apa itu kebebasan dan kemanusiaan! Kenapa si gadis SPG rokok harus memakai baju ketat warna-warni itu? Bukan, bukan! ini bukan soal moral! Aku cuma mau tahu.. kenapa baju ketat dengan warna-warni tolol itu harus dipakai? toh si gadis sudah cukup cantik tanpa menggenakan baju aneh itu!?

Ini lah apa yang disebut Alienasi. Manusia tercerabut dari kemanusiaannya, kata Marx. yang memiliki modal lah yang menentukan baju apa yang harus kita pakai. Kostum Barney si dinosaurus ungu, atau telanjang samasekali! Nah, kebetulan si gadis SPG ini kedapatan pemodal yang mesum! Jadi, baju yang digunakan pun harus super ketat sampai batas yang tidak mungkin diketatkan lagi. Si gadis SPG selaku pekerja tanpa modal yang sepenuhnya menjual tenaga tak boleh memilih.

Si pemodal tak punya urusan soal kemanusiaan dan kebebasan hakiki si pekerja. Mungkin sebelumnya si manajer (tangan kanan serakah si pemodal) sudah berujar pada si gadis SPG.. "baju ketat dengan rok super-mini dan warna-warni tolol inilah yang akan memberimu uang! kalau kau tidak mau pakai, silahkan mati kelaparan atau melacur saja!" Nah, nah,.. sekarang tubuh molek si gadis SPG sudah jadi pusat perhatian hampir semua laki-laki di kafe.. dari si tua bangka berotak kotor yang mulai siul-siul sambil cengengesan, sekelompok pemuda yang menghentikan obrolannya, Baristawan di belakang meja kopi, sampai aku (tentu saja! aku normal! jangan salahkan mataku yang tidak buta dong!) yang mengabaikan sub-bab tentang nilai lebih.

III

Lamunanku buyar, gadis SPG rokok itu sekarang ada didepanku. "rokoknya mas.. kita sedang ada promosi loh..! kalau masnya.." Ujarnya lembut sambil mengumbar senyum ramah. Kepura-puraan a la kapitalisme yang membuatku bertambah kasihan pada nasib dan pilihan si gadis. Aku lalu memotong dengan cepat, sadis, dan dingin. "maaf, aku nggak merokok mba!" tiba-tiba, Aku menyesal karena nada bicaraku terlalu sadis, barangkali.

Si gadis SPG melengos kecewa dengan helaan nafas lelah. Aku tiba-tiba berandai-andai.. dan terlalu yakin pada pengandai-andaianku sendiri: Oh,.. jangan-jangan ia menjadi SPG karena mencemaskan biaya kuliahnya yang belum ia lunasi. Dan oh,.. jangan-jangan ia menjadi SPG rokok agar bisa menebus obat ibunya yang sakit parah..! Bagaimana ini? Pertama kalinya aku merasa berdosa karena tidak membeli rokok. Jika ia berkecukupan, rasanya tidak mungkin mau menjual harga diri seperti itu.

Ah, tak tahulah.. Kalau kelak aku punya anak gadis, ia takkan kubolehkan jadi SPG rokok!

IV

Aku menyeruput kopiku yang sudah dingin, diluar gerimis turun dengan ragu-ragu. Betapa penindasan itu bukan cuma ada di novel-nevel Pramoedya Ananta Toer, bukan cuma di dongeng-dongeng Maxim Groky! Ia hidup dalam kenyataan.. kejam dan tak pandang bulu! Lalu, ketimbang memikirkan tubuh molek si gadis SPG, aku lebih memilih membayangkan kondisi damai dan bebas yang digambarkan salah satu penyair Cina kuno. bunyinya begini : saat sore, para penduduk bersama-sama pergi ke pemandian air hangat. saat matahari terbenam, para penduduk pulang sambil bernyanyi bersama-sama ditemani kicau burung-burung senja.. Datanglah benderang, usirlah kegelapan penindasan!

NB:rasa kopi Espresso yang kupesan di salah satu kafe di Jogjakarta malam itu rasanya benar-benar aneh..! seperti... seperti... ya,.. seperti filsafat!

Azhar Irfansyah/Multatuli III, Jogja 2008

1 komentar:

sans mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.