Jumat, 28 November 2008

memisahkan segelas susu dan tai kucing.

segelas susu: aromanya gurih, rasanya lezat berlemak, ronanya putih pekat, dan lagipula ia baik untuk tubuh

tai kucing: bentuk, tekstur dan aromanya menjijikan! bikin mual!! soal rasa dan dampak bagi tubuh jika kita mengkonsumsinya,.. emmm.. coba tanya pada orang yang pernah mengunyah dan menelan tai kucing! saya hanya bisa menjamin kalau rasanya tidak lebih enak dari arem-arem isi daging cincang.

sekilas, dua hal tadi (segelas susu dan tai kucing) adalah dua objek yang sama sekali berbeda dan mudah dipisahkan. sayangnya, dalam dunia sosial-politik, segelas susu dan tai kucing terkadang menjadi satu. lalu kita tidak bisa membedakan, mana yang segelas susu, mana yang tai kucing.

semisal, ketika kita berbicara tentang pembusukan kebebasan pers dalam keadaan kapitalis-korporatokratik. mungkin benar jika ada yang berpendapat bahwa posisi kebebasan pers tidak lagi sesuai normanya (akhrnya membela kepentingan yang berduit, atau memberitakan sesuatu yang fantastis dan tidak mencerdaskan dengan tujuan utama : uang!). tetapi jika kemudian ada yang dengan sembrono berujar bahwa kebebasan pers adalah titik lemah dari masyarakat demokratis, berarti ia tidak bisa membedakan: mana segelas susu, mana tai kucing.

pasalnya, korporatokrasi bukan hanya busuk, tapi juga menularkan kebusukannya pada yang lain. jangankan kebebasan pers, demokratisasi saja bisa tertular kebusukan korporatokrasi.

media penyebaran kebusukan korporatokrasi adalah uang, sedang gejala ketertularannya adalah rasa tamak yang tak habis-habis. ketika satu individu sudah tertular, maka ia akan menjadi maniak uang yang busuk sikap dan sifatnya.

bagitu juga sebuah institusi pers..

secara normatif, pers memilikki tugas untuk memberi informasi, menghibur, mendidik, dan melakukan kontrol sosial dengan penuh tanggung jawab. hanya pada perkembangannya, fenomena menunjukkan bahwa pers menjadi pihak yang tidak bertanggung jawab dan ceroboh. kebebasan pers digunakan untuk menyampaikan berita-berita fantastis dengan tujuan akumulasi keuntungan tanpa mempertimbangkan dampaknya,.. apakah mencerdaskan atau membodohi masyarakat? pers juga terkadang -- lagi-lagi karena ketamakan terhadap uang -- menutup-nutupi satu kasus dan membesar-besarkan kasus yang lain.

tapi semua hal yang saya tulis di paragraf sebelum tidak dapat dijadikan landasan untuk menjadikan pers sebagai kambing hitam. seorang mekanik yang handal adalah mekanik yang mampu menemukan letak kesalahan sebuah mesin -- dan tentunya dapat memperbaikinya juga. jika ada pihak yang menyalahkan kebebasan pers, berarti observasi sosialnya kurang teliti. bahkan mentah! karena kebebasan pers itu adalah sesuatu yang baik, terutama jika kita ingin hidup bersama dalam lingkungan demokratis. kebebasan pers menjadi buruk (dengan tidak lagi membela demokratisasi dan mengutamakan keuntungan diri sendiri) karena pengaruh ketamakan korporatokrasi.

yang menjadikan pers tidak berjalan sesuai etikanya adalah penuhanan ketamakan. bukan hanya pers, tapi juga polisi, petugas hukum, anggota parlemen.. semuanya dirusak oleh ketamakan a la korporatokrasi bukan kebebasan pers!

nah jadi, saya harap setelah ini kita dapat melihat lebih dalam untuk mengetahui: mana segelas susunya, mana tai kucingnya. apakah kebebasan pers tai kucingnya? atau ketamakan korporatokrasi lah yang sebenarnya tai kucing yang busuk dan menjijikan itu? saya harap anda dapat membedakan. tentunya anda tak mau kan meminum segelas susu yang tercemplung tai kucing didalamnya!?

Azhar Irfansyah, Jogja 2008

Tidak ada komentar: