O, betapa kolosal!
sementara revolusi meringkuk tanpa pembela.
Lalu terlihat kilat mata pisau. Fasih ia dalam bahasa tragedi.
lalu kau lihat, kau dengar..
crasshh! anak-anak putus sekolah!
crasshh! para buruh ditindas!
crasshh! petani lokal melarat!
crasshh! para wanita pergi melacur!
crasshh! pasien miskin tak tertolong!
crasshh! kelaparan!
crasshh! perang!
sementara luka derita menganga lebar, Mata pisau mulai berbicara tentang hakikat hidup.
"dusta kau brengsek!!" teriak Wiji Thukul lantang. jantan!
crasshh! Wiji Thukul senyap ditelan gelap.
Berteman kopi murahan, malam itu aku membaca hujan..
sementara di tangan tergenggam sebuah buku "Aku Ingin Jadi Peluru, kumpulan puisi Wiji Thukul"
sementara Mata Pisau terus membunuhi kemanusiaan, kami perlahan sudah berubah menjadi baja.
Berteman kopi murahan, malam itu aku membaca hujan..
O, betapa kolosal!
Suatu hari nanti, Revolusi kami akan lebih kolosal ketimbang hujan malam itu..
Multatuli III, Jogja 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar