Jumat, 09 Januari 2009

Ngangkring Tragedy

sore hujan, persada jadi basah. lalu malam dingin seperti biasanya. tidak, tidak... malam itu lebih dingin dari biasanya.

dua hari lagi hari senin, artinya saya punya dua hari untuk mengerjakan tugas mata kuliah Ekonomi Politik Internasional. bah.. harus saya lakoni malam-malam imsonia lagi.. ditengah-tengah pekerjaan, tiba-tiba saja rasa penat luar biasa menyerang. duh, saya harus mengunyah sesuatu (ngemil) agar kantuk tidak menyergap mata. angkringan..

jadi pergilah saya ke angkringan. benar saja semilir dingin berhembus dengan lembabnya, punggung saya pun jadi mengigil. demi kletikan, jahe susu, dan gorengan-gorengan yang berminyak dan tidak sehat (tapi enak), dingin begini tak menjadi masalah besar!

diujung jalan, beberapa hasta sebelum persimpangan ke arah selatan, lampu cempor menyala redup di balik tenda terpal bewarna kemerahan (saya mengatakan begitu karena tidak yakin apakah itu oranye atau merah). ingin buru-buru ngangkring, saya pun melipirkan motor saya kekiri. didalam tenda terpal, tiga laki-laki mengelilingi gerobak. satu si pedagang (merokok, menggunakan topi kupluk yang kelihatannya hangat, berselimut dengan sarung butut), satu pegawai di rumah karaoke (saya mengetahuinya dari seragam yang ia pakai), satunya lagi sepertinya warga yang kebagian jatah ronda, saya tak yakin.

jahe susu sedang dibuatkan, sementara tangan saya sibuk mengambil gorengan-gorengan lalu sate. sate kerang, udang, usus, ah,.. yang itu sepertinya enak dimakan dengan sego kucing! ati ampela yang dipotong kecil-kecil! ya,.. ya. saya ambil satu, lalu saya letakkan bersama gorengan tempe dan tahu diatas piring kecil berbahan plastik murahan. "dibakar ya mas!" ujar saya dengan suara dimedok-medokan. supaya terdengar lebih akrab maksudnya.

lampu cempor ditingkahi angin malam, bayang-bayang pun menari. dingin terlawan oleh arang-arang yang menyala dari bawah ceret. jahe susu mengalir di kerongkongan, menghangatkan paru-paru, lalu mengalir ke usus. lalu sate ati ampela yang dipotong kecil-kecil,.. bah.. koq agak keras.. rasanya juga sedikit aneh.. tapi enak juga. tak apalah, mungkin pengaruh bakaran tadi ya.

sego kucing yang banyaknya hanya beberapa suap saja sudah tumpas, jahe susu masih dua pertiga gelas. waktunya kletikkan! sebungkus kacang telur langsung disambar. tiga orang yang lain memulai percakapan. bahasa jawa! duh, saya langsung merasa teralienasi. karena berdomisili di jakarta, saya tidak begitu banyak mengerti bahasa jawa. tapi saya bukanlah orang yang dengan mudah menerima keadaan macam begitu. jadi saya memulai basa-basi dengan bahasa indonesia, agar saya juga bisa mengobrol maksudnya.

dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. saya menghormati budaya orang, terutama budaya orang-orang yang tempatnya saya tumpangi. tapi saya tetap harus mengerti apa yang mereka bicarakan.

***

jadi teringat pada cerita Subcomandante Marcos, salah satu dedengkot EZLN meksiko, sebuah gerakan pembebasan petani adat yang kebanyakan bersuku Maya. diceritakan bahwa pada pertama kali Marcos menemui para petani adat Maya, dia "ga connect" dengan petani-petani Maya yang dia temui. pulanglah jagoan kita ini dengan kecewa, namun kemudian ia tersadar. ia coba-dan coba lagi memahami para petani adat Maya. dan sekarang ia sudah menjadi ikon perjuangan pembebasan petani adat di Meksiko. prosa-prosa dan esai-esai Subcomandante Marcos juga dikenal luas dan menjadi inspirasi bagi perjuangan pembebasanbagi banyak individu dan kelompok di seluruh dunia.

***

kembali lagi pada saya yang sedang berbasa-basi dengan para laki-laki yang sedang berada di angkringan. "dingin betul ya..!" ujar saya pada si pedagang. "ya ya.. tadi sore kan hujan." sahut pedagang. "beberapa jam yang lalu masih gerimid koq!" pegawai rumah karaoke menimpali.

berhasil.

jadi, mulailah pembicaraan bi-lingual. kadang jawa, kadang indonesia. tidak masalah, saya mengerti beberapa kosa kata jawa. percakapan berlanjut, si pedagang menanyai saya dengan bahasa indonesia.
"kamu tinggal dimana?"
"karangmalang, yang dekat UNY itu lho."
"oh.. aslinya?"
"mm.. orangtua atau domisili?"
"mm.. tempat asal maksudnya.." ha.. saya salah memilih diksi. seharusnya tidak menggunakan "domisili". setelah itu saya kembali ke percakapan. "jakarta mas" ujar saya.

percakapan berlanjut hangat. percakapan kemudan merembet ke PEMILU 2009. pedagang angkringan dan pegawai rumah karaoke sepakat untuk golput, tukang ronda tidak memilih partai, tapi akan memilih Megawati pada putaran pemilihan presiden. "dia itu (Megawati) kan membela rakyat kecil" ujarnya (lugu?). saya ingin saja membantah pernyataan si tukang ronda, tapi saya menjadi takut kalau-kalau laki-laki setengah baya itu tersinggung. akhirnya saya cuma manggut-manggut. namun ternyata si pedagang sedang ingin mendebat temannya itu. "halaah, wong dia iu gak ngapa-ngapain pas jadi presiden! ya kan mas!?" ujarnya pada tukang ronda lalu kemudian beralih pada saya. saya memang sempat bilang kalau saya anak sosial-politik. sekarang saya jadi kikuk. "diteror" dua tatap mata mengantuk sekaligus! "mmm.. bukannya ga ngapa-ngapain sih mas, tapi menurut saya, dia (Megawati) itu kurang berhasil.. habis, slogan peduli wong ciliknya ga diwujudkan.." ujar saya agar tidak mengecewakan ekspektasi masyarakat terhadap mahasiswa, Fisipol UGM khususnya.

tukang ronda tampak tidak begitu senang.
begitulah sekilas demokrasi di angkringan.

setelah kondisi agak cair, saya tergiur untuk mengambil satu sate lagi. berhubung sate ati ampela dipotong kecil-kecil yang tadi saya ambil agak mengecewakan. "ada sate apa aja mas?" tanya saya pada si pedagang.
"usus, kerang, udang, keong.. kalau sate ayam sudah habis.."
"sate keong? enak po?"
"wuih laris manis mas!"
"bentuknya kaya apa mas?"
"yang mana ya..? lho bukannya masnya ngambil tadi?!"
"hah, bukannya tadi saya ngambil sate ati ampela?"
"yang mana? yang kecil-kecil itu toh!? itu sate keong mas.."

tiba-tiba perut mulas..

***

saya masih ingat benar. ketika masih di sekolah dasar, ada pedagang keong (untuk mainan dan pelihara, bukan dimakan) didepan gerbang sekolah. banyak anak-anak, yang termasuk juga saya, membeli seekor keong. biasanya untuk diadu atau balapan. sampai kemudian pihak sekolah menganggap keong sudah mengganggu kegiatan belajar-mengajar. para murid kemudian diancam oleh guru. "barang siapa membawa keong ke sekolah, akan saya suruh dia menelan keongnya hidup-hidup!" para murid langsung ngeri. namun saya ini memang bandel - atau kritis tepatnya. saya tidak percaya bahwa guru itu akan menyuruh saya menelan keong kesayangan saya hidup-hidup, jadi besoknya saya bawa keong saya ke sekolah.

dasar sial, siangnya ada razia keong! saya pun ketahuan membawa keong di dalam tas. saya dibawa menghadap guru yang kemarin mengancam murid perihal keong. di kantor, keong saya yang besar dan bewarna kemerahan dijejali ke mulut saya. mau berteriak, saya takut.. kalau saya membuka mulut saya, jangan-jangan guru saya ini bakal memasukkan keong ke mulut saya. hal paling mengerikan pun segera terjadi. keong menyeruak keluar karena hembusan nafas saya. kaki-kai keong bergerak-gerak, hanya beberapa sentimeter dari bibir saya yang sedang terkatup gemetar.

saya memukul tangan guru saya yang sedang menjejali dengan kerasnya. PRAAKKK! keong terlempar ke lantai dan cangkangnya pecah! saya tidak sanggup melihat.

besoknya saya di hukum seharian. berdiri didepan kelas dan membersihkan WC sekolah.

***

sampai dimana tadi,.. oh.. ya ya.. perut saya tiba-tiba mulas.

saya pun akhirnya pulang dari angkringan dengan perut mulas. lain kali, saya harus tanya-tanya dulu apa sebenarnya yang akan saya masukkan ke mulut saya..

Azhar Irfansyah, ketika tahun 2009 masih pagi

Tidak ada komentar: